“Minat baca mahasiswa sangat minim. Indikatornya adalah sepinya perpustakaan dari kunjungan mahasiswa.” Pendapat ini diyakini sebagian besar pendidik. Bila indikatornya kunjungan mahasiswa ke perpustakaan atau jumlah buku yang dipinjam, mungkin benar, bahwa mahasiswa enggan membaca. Masalahnya, apakah betul sepinya perpustakaan karena mahasiswa malas membaca?
Sepanjang pengalaman kami, minat membaca mahasiswa tidak bisa diremehkan begitu saja. Persepsi mahasiswa malas baca, perlu dihilangkan dari benak kita. Bila kita menganggap mahasiswa tidak memiliki minat baca, mahasiswa akan menjadi seperti yang kita definisikan tersebut. Sebaliknya, jika kita mendefinisikan mahasiswa sebagai pembaca yang tangguh, akan seperti itulah kenyataannya. Hal yang sebenarnya, mahasiswa sangat ingin membaca, tetapi minat mereka tidak dapat dipahami dengan baik oleh kita dan pengelola perpustakaan.
Umumnya, citra perpustakaan di mata mahasiswa adalah suatu ruangan kaku, sepi, membosankan, dan dengan buku-buku yang ketinggalan zaman pula. Suasana yang serba tidak menyenangkan ini tentu tidak akan menarik di kalangan mahasiswa yang terbiasa dengan suasana ceria dan penuh warna dari televisi dan internet. Jadi, memang tugas pengelola perpustakaan untuk menjadikan perpustakaan dekat dengan mahasiswa, sebagaimana mahasiswa dekat dan akrab dengan kantin. Dengan demikian, perpustakaan harus terletak di lokasi yang mudah dijangkau. Umumnya, perpustakaan berada di lokasi yang sepi dan terpisah dari aktivitas mahasiswa, dengan alasan untuk menjaga ketenangan perpustakaan itu sendiri. Akibatnya, keberadaan perpustakaan tidak disadari mahasiswa.
Bayangan perpustakaan yang dingin, kaku dan membosankan harus diubah. Koleksi buku-buku pun harus disesuaikan. Selain buku-buku wajib, perlu juga ditambah koleksi buku, surat kabar atau majalah lain yang menghibur. Tata letak perpustakaan juga harus dipertimbangkan betul agar terasa akrab dan nyaman. Pendeknya, pahami karakter dan kebiasaan mahasiswa dalam membaca. Apabila mahasiswa merasa nyaman membaca sambil lesehan, sediakanlah lantai berkarpet untuk membaca sambil lesehan. Tak lupa pula musik yang lembut bila perlu diputar.
Berdasarkan pengalaman, suasana santai dan menyenangkan ini membuat mahasiswa senang dan menghabiskan waktu lebih lama di perpustakaan. Frekuensi meminjam buku pun meningkat. Jika mahasiswa lebih lama di perpust¬kaan, mereka akan lebih mengenal perpustakaan. Mahasiswa yang akrab dengan perpustakaan dengan sendirinya akrab dengan buku-buku. Mahasiswa juga tidak lagi mengasosiasikan perpustakaan dengan segala hal yang menjemukan. Sebaliknya, perpustakaan akan dianggap tempat yang menyenangkan, sehingga membaca menjadi aktivitas rekreatif.
Generasi baru mahasiswa kita sekarang sangat berbeda dengan generasi para pengelola atau orang tua. Mahasiswa sekarang sudah terbiasa melaksanakan berbagai aktivitas sekaligus. Aktivitas yang menyerap seluruh perhatian dilakukan dengan kapasitas penuh secara singkat dan intensif. Buat mereka, membaca sambil mendengar musik favorit, dan beragam aktivitas lainnya tidak menjadi kendala dalam menyerap informasi. Mahasiswa sekarang melakukan lebih banyak hal dibandingkan generasi sebelumnya.
Meminjam pandangan Hernowo dalam bukunya Mengikat Makna dan Seandainya Buku Sepotong Pizza (Mizan: 2005). Buku hendaknya dipandang sebagai makanan. Tanpa makan, orang bisa mati. Jika makanan memberi tenaga terutama kepada badan, buku merupakan makanan bagi rohani. Dan sebagaimana makanan, bila disajikan apa adanya, koleksi buku yang ada di perpustakaan tidak akan menarik perhatian. Jadi buku-buku harus disajikan dalam cara dan suasana yang menyenangkan.
Menjadikan perpustakaan menarik di mata mahasiswa tentu lebih bermakna daripada terus-menerus memberi label kepada mahasiswa kita sebagai anak yang malas membaca (Idhoy).